Kehilangan paling mendalam, adalah kehilangan jati diri
Belakangan ini aku sering lupa tentang esensi ku menjadi manusia, dari kebiasaan sehari hari, sampai terkadang lupa akan jati diri, bagai nyala lilin yang perlahan habis terbakar api penyesalan, dan akhirnya padam; terbitlah temaram. Asumsi itu bertebaran entah dari mana datangnya, membelenggu bagai rantai yang tak ada ujungnya, menyekat sisa harap, memutar kembali memori kala kecil dulu, aku termangu menatap keluar jendela sambil bergumam, dan ribuan pertanyaan itu menghujam hebat bagai busur panah yang mendarat pada jantung lawan.
“Perkenalkan aku si lemah, adakah belas kasihan dari orang-orang disini? adakah yang rela mengulur tangan dikala aku jatuh? Aku lelah dengan monologku setiap hari”. sendu adalah gambaran yang pertama terbesit ketika mendengar sosok hendri, pria introvert kelahiran tanah jawa, seorang tuna karya dengan mimpi yang besar, harapan yang tinggi akan cita citanya kelak menjadi seorang sastrawan ternama. Besar dalam dekapan tuhan, sebatang kara yang mencari arti hakikat dan hikayat, jalan hidupnya yang berlika liku membuat ia sudah terbiasa jatuh dan bangun sendiri, mengumpulkan pundi pundi asa yang kian sirna, ia seakan berada dalam palung kesedihan yang gelap tanpa secerca cahaya, hanya temaram.
Canggung ketika berada dalam keramaian, itulah yang dirasakan hendri ketika menjamah dunia luar, tiba tiba bungkam jika dipaksa membuka obrolan.. bagai tunawicara, ia diam sepatah kata, menunggu lawan bicara membuka sesi bertukar frasa, memang benar.. hal itu bukan tanpa sebab, karna jalan hidupnya membentuk ia menjadi seorang introvert, Merenung sudah menjadi profesi dan depresi sudah menjadi teman sejati. Pada bulan juni yang berelegi semua kesedihanya berangsur angsur surut, sekian lama hanya pasang yang ia rasakan dalam hidup